Musim hujan, mendung selalu menghiasi langit. Tapi tidak untuk hari ini. Hari yang cerah. Gerimis turun dengan alun di bawah terik sinar mentari. Sore ini pun begitu, gerimis turun perlahan sedangkan matahari masih setia menyinari bumi. Sebentar saja. Gerimis pergi tak mau berlama-lama.
Aku pergi meninggalkan tempat yang seharian ini aku habiskan bercanda, bergurau, bersantai. Tempat macam apa sebenarnya ini. Ya begitulah arti tempat ini untukku, bukan untuk berserius ria menunggu hasil ujian, atau merasa tegang menghadai ujian. Tempat penuh sendau gurau. Begitulah.
Lagi dan lagi aku melaju kejalanan, berbaur lagi dan lagi dengan polusi yang terkadang memuakan. Dan lagi lagi, melaju bersama orang-orang yang tak pernah bosan menikmati polusi. Melambat dan melaju kencang, aku mainkan gas di tangan kananku. Mengerem mendadak ketika ada mobil menyebrang sembarangan. Lelah. Aku lelah setiap hari melewati jalanan.
Tentu saja aku lelah, aku kan mahasiswa antar kota antar propinsi. Tidak boleh ‘ngekost’. Padahal hal pertama yang ingin aku rasakan menjadi seorang mahasiswa adalah tinggal di luar rumah, merasakan kejamnya kesendirin di dalam kost. Siapa sangka, semua itu tidak terwujud dengan indah. Jadilah aku sekarang melaju beriringan dengan polusi setiap hari. Terpaksa bersahabat dengan polusi.
Tidak pernah ada momen spesial di jalan ini. Sama saja setiap hari. Pemandangan yang sama. Kanan kiri toko berjejer rapi, pohon-pohon penyejuk berdiri kokoh. Mobil-mobil, motor-motor, bus-bus, truk-truk, masih sama saja. Kendaraan-kendaraan itu memenuhi jalanan. Kadang melaju seenaknya, merasa ada di lintasan balap. Iya, balapan dengan waktu, telat.
Hari ini aku nikmati perjalanan pulangku, berbaikan dengan polusi. Berlama-lama dengan polusi. Aku melaju santai. Melihat senja yang mulai nampak. Menikmati pemandangan kota. Mengamati dengan seksama, yang biasanya aku abaikan begitu saja.
Aku melewati jembatan panjang. Jika kau menengok ke kiri, pemandangan senja begitu indah. Matahari bertengger di atas bukit barisan. Menghilang perlahan di balik bukit. Langit jingga, ah entah sejak kapan aku suka melihat langit senja. Ternyata memang benar-benar indah. Bukan. Aku bukan sok romantis seperti cerita-cerita novel atau sinetron di tv. Karena warna senja itu ternyata menentramkan jiwa.
Aku berbelok ke kanan, menyeberang jalan. Setelah sebelumnya aku melaju kencang mencoba menyaingi kendaraan dibelakangku. Berdiam sejenak di tengah jalan, berharap kendaraan dari arah lain berbaik hati mengijinkan aku menyeberang. Ada beberapa motor didepanku yang akan menyeberang juga. Satu per satu motor itu melaju dan aku mengikutinya.
Dan tiba-tiba aku melihat sesosok itu. “Ha?” kagetku dalam hati. Aku lihat, aku lirik dengan seksama. Siapa? Sebut saja mas X. Iya, siapa mas X? Anggap saja orang yang berlalu dijalanan. Terus, apa hubungannya? Saya mengagumi mas X ini.
“Pasti dia orang yang pinter” batinku, sambil terus melaju dibelakangnya.
Aku ikuti dia, tidak mau menyalip. Aku sabar mengikuti. Santai, ini kelewat santai. Lambat, ini lumayan lambat. Tapi, sudahlah, aku menyukai momen mengikutinya saat ini. Buyar. Pikiran ku kembali lagi ke sosok yang entah berada dimana itu. Yang selalu berharap mendapati momen seperti ini bersama dia.
Ya beginilah, yang ada di depanku sekarang mas X, bukan yang lain. Rada jengkel juga pas lewat polisi tidur. Mas X ini berhati-hati sekali sehingga dia melaju dengan apik tanpa guncangan yang berarti. Berbeda denganku yang menerobos begitu saja. Dan kali ini aku mengikuti cara mas X. Hampir. Hampir saja menabrak ban belakang motor mas X.
“Ah, aku harus melaju lebih kencang lagi, melepaskan pesona mas X” aku tancap gas, aku salip mas X. Aku melaju kencang meninggalkan mas X jauh dibelakang. Hingga mas X benar-benar tidak terdeteksi lagi.
Hari ini, jalanan telah memberikan cerita baru lagi. Hai polusi, kau melihatnya bukan?
0 komentar:
Posting Komentar