Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam
Enam tahun sudah berlalu. Cepat sekali. Aku hampir menyelesaikan studiku di salah satu perguruan negeri terbesar di kota ini. Dan aku masih menyimpan harapan yang sama seperti 6 tahun yang lalu. Tidak pernah berkurang sekalipun rasa ini. Sama besarnya. Tiap kali aku berdoa, selalu sama, berharap Tuhan akan mengabulkannya.
Gadis macam apa yang bisa-bisanya menyimpan perasaannya selama itu. Menyimpan rapat-rapat. Membiarkannya tumbuh perlahan. Tujuan semulaku adalah membiarkannya mati kering, tapi malah sebaliknya makin subur melingkupi ruang hatiku. Bayangan itu masih sama enam tahun yang lalu. Membuatku bertanya seperti apa dia sekarang. Enam tahun ini itulah pertanyaan yang selalu mengisi pikiranku.
Aku akan menyerah dua tahun lagi. Aku akan meninggalkan harapanku. Kuberi batas waktu dua tahun ini. Saat aku benar-benar pergi dari kota ini. Kota dimana aku bertemu dia. Meninggalkan sejuta kenangan. Saat aku benar-benar tidak akan bisa melihatnya lagi. Saat aku benar-benar tidak bisa mengingat bayangannya. Biarkan 2 tahun ini aku menikmati perasaan yang telah tumbuh selama enam tahun. Biarkan aku bersedusedan dengan semua ini.
Bruuukk
Aku terjatuh, tersungkur. Di depanku berdiri seorang laki-laki. Menunduk menatap dengan muka penuh penyesalan. Mencoba membantuku berdiri lagi.
“Maaf ya. Aku enggak sengaja. Maaf. Maaf.” Dia membungkuk-bungkuk seperti orang jepang dan mengoceh meminta maaf. Aku malah yang merasa lebih salah lagi, aku sedang melamun sambil berjalan.
“Ah, enggak apa-apa kok. Aku juga minta maaf.” Aku menepuk-nepuk rok belakangku membersihkan debu yang menempel.
“Maaf ya.” Dia berlari berteriak sambil melambaikan tangannya.
Dan aku tersadar dari lamunanku. Terus berjalan berhati-hati. Kemudian aku duduk di salah satu bangku taman.
“Siapa ya cowok tadi?” aku bertanya-tanya dalam hati penasaran.
Selang beberapa hari aku bertemu dengannya lagi. Entah apa, sekarang aku jadi sering bertemu dengan dia. Di kantin, di lobi, di parkiran, di tangga, di jalan, di taman, dimanapun di sudut sekolah. Entah hanya kebetulan saja atau karena aku yang selalu memperhatikan dia.
Hari ini aku bertemu dengannya di taman. Dia sedang duduk bersama teman-temannya. Aku sendiri. Menikmati sepoi-sepoi angin musim kemarau. Berteduh diantara pepohonan taman sekolah. Membolak-balik novel yang sedari tadi ada di tanganku. Sesekali melirik kearahnya. Sekali, duakali kami bertatapan bersama kemudian segera berpaling. Aku kembali membaca novel dan dia kembali berbicara dengan teman-temannya. Sesaat itu aku merasakan perasaan aneh. Aku tiba-tiba canggung. Salah tingkah. Sambil menyelesaikan membaca aku mencuri-curi pandang kearahnya.
Sampai di kelas aku masih saja menyakinkan hatiku agar tidak kegirangan. Mencoba menenangkan perasaan yang tiba-tiba mengembang di dalam dada. Menyembunyikan semu merah di pipiku. Menyembunyikan simpul senyum di bibirku. Menyembunyikannya dari teman-temanku. Maka saat pelajaran tiba, aku sibuk mencoret-coret bukuku dengan simpul senyum dimana-mana. Mengambar bunga dan daun waru dimana-mana. Tanpa aku bicara semua orang pasti akan tahu aku sedang jatuh cinta. Tapi tetap saja aku akan mengelak. Aku akan mengatakan tidak. Dan berdalih itu hanya gambar biasa yang sering anak-anak TK gambar. Tidak lebih dan tidak kurang, bukan tanda-tanda dariapapun. Itu hanya gambar biasa. Seperti itulah saat teman-temanku mulai curiga, seperti itulah penjelasan untuk mereka.
Satu. Dua. Tiga.
Tiga tahun aku bertahan dengan cinta yang tak tersampaikan. Bertanya-tanya dalam hati tentang perasaannya padaku. Memperhatikan dia setiap hari. Menatap dari balik jendela. Berjalan dibelakangnya. Memandangnya dari jauh, berharap dia berbalik dan melambaikan tangan seperti saat aku bertemu dengannya pertama kali.
Tahun lalu, baru aku sadari ternyata dia idola anak-anak di sekolah. Anak yang baik. Anak yang pandai. Dan lelaki yang tampan. Dia tinggi. Pandai bermain basket. Dia anggota paskibraka sekolah. Dia selalu menjadi 5 besar di kelasnya. Begitulah dia sempurna menjadi idola di sekolah.
Lihatlah, jarak kami seperti bumi dan matahari, berpuluh-puluh, berjuta-juta meter hingga aku tak sanggup mengukurnya. Namun itu sama halnya dengan perasaanku yang makin lama lingkarannya membesar seperti jarak bumi dan matahari. Maka saat itu, aku memutuskan untuk mengatakan perasaan ini padanya suatu saat nanti.
“Kamu sendiri?”
Aku menoleh kearah suara, mendongak keatas.
“I..Iya.” Aku terbata menjawab, panik. Mencoba menyembunyikan semu merah wajahku. Memegangi dadaku memastikan dia tak berdetak terlalu kencang.
“Boleh aku duduk disini?” Dia menunjuk bangku disebelahku.
“Boleh.” Aku mengangguk kencang. Tersenyum lebar.
Di depan kami sekarang ada sebuah panggung yang sedang memainkan drama. Kami duduk di bangku paling belakang berdua. Terdiam satu sama lain.
“Semoga dia tidak melihat ku.” Aku berharap dalam hati, takut dia melihatku yang sudah tak karuan sikap dan perasaannya.
Dia menatap kedepan. Menatap orang-orang yang ada di panggung. Kemudian terkekeh sebentar saat orang-orang itu melucu. Aku hanya bisa tersenyum. Saat aku mengingat keinginan untuk mengatakan perasaanku padanya, aku menjadi sesak. Kaku, terdiam. Kemudian aku membiarkan suasana ini lebih lama. Duduk berdua bersama dia. Walau hanya saling berdiam.
Maka itu adalah hari terakhirku melihatnya. Kami sudah lulus dari sekolah. Entah dimana dia sekarang. Pasti masih saja menjadi idola. Pasti masih sama baiknya seperti dulu. Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.
Tiga tahun berselang. Sebentar lagi aku dan dia menyelesaikan kuliah. Perasaan yang tumbuh perlahan itu mencuat kepermukaan. Kembali mengingatnya. Bahkan setelah 6 tahun berlalu. Setelah 3 tahun tak pernah berjumpa dengannya. Doaku terlontar kelangit, memohon dipertemukan lagi dengannya.
Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam.
Aku menghitung waktu yang telah berlalu. Waktu dimana perasaan ini masih tersimpan rapat, masih sama seperti dulu.
0 komentar:
Posting Komentar