From: Ouji
Besok aku pulang, temui aku di taman kota ya
Love you, hime
Pagi ini aku mendapatkan pesan singkat dari Ouji. Sudah lama aku tak berjumpa dengannya. Betapa aku kegirangan saat menerima pesan itu. Tak sabar menunggu malam berubah menjadi pagi. Besok saat aku menatap langit pagi, aku akan menemui Ouji.
Kami sudah berpacaran 3 tahun. Orang-orang menyebut hubungan kami long distance relationship-LDR. Hanya waktu-waktu tertentu saja aku bisa menemuinya. Besok adalah libur semester. Walaupun begitu, bagiku ini bukanlah libur seperti biasanya. Kami mahasiswa akhir yang selalu sibuk karena tugas. Tapi itu tidak boleh membuatku membatalkan bertemu dengan Ouji. Kalau bisa liburan ini harus sama seperti liburan sebelumnya, aku habiskan hari-hariku bersama Ouji.
Ouji, bukanlah lelaki yang romantis yang selama ini aku bayangkan. Dia dingin, cuek. Tapi dia masih sempat menyapaku di sela-sela kegiatannya. Entah rasa apa yang membuat aku terlalu percaya pada lelaki itu. Bukankah hubungan LDR itu penuh curiga, kerinduan dan rasa bosan. Waktu 3 tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi hubungan kami. Selama itu semua berjalan dengan lancar. Tanpa menganggu kegiatan kami masing-masing.
***
Aku pilah-pilah baju di lemari kamarku, mematut-matutkannya di depan kaca. Mencoba beberapa baju, tapi tetap saja tidak merasa pas. Karena ini adalah momen yang jarang terjadi, aku ingin Ouji melihatku lebih cantik dari tahun kemarin. Aku Menyiapkan semuanya.
Kriiiiinngggggggg
Alarm di mejaku berbunyi makin kencang. Alarm sengaja ku taruh jauh-jauh dari jangkauan, agar aku bangun. Jam masih menunjukan pukul 5 pagi. Aku matikan alarmnya. Aku usap-usap mataku dengan kedua tanganku. Kemudian membukanya perlahan-lahan. Aku berjalan mundur dari meja, tertduduk di kasur. Bruuuk. Aku kembali jatuh tertidur.
Kriiiiiinngggggggg
Alarmku berbunyi lagi. Terpegang di genggamanku. Aku lihat jarum jamnya. Jam 7. Aku raih handphone di meja. Satu pesan terlihat dilayar. Dari Ouji.
From: Ouji
Hime, bangun! sudah pagi :D
Jangan lupa, aku tunggu jam 9 ya.
Aku tersenyum membaca pesan dari Ouji. Bergegas aku mainkan tanganku di layar handphone, membalas pesan singkat dari Ouji. Kemudian aku keluar kamar. Menyapa udara segar pagi ini. Tersenyum pada langit biru dan matahari pagi. Menatap awan yang berarak.
Pukul 8. Aku berangkat menuju taman kota. Berdandan secantik mungkin. Setelan hijau pastel dan pink. Terlihat manis seperti gulali.
“Anak mama cantik banget hari ini, mau kemana?” Mama mencegatku saat turun dari tangga.
“Mama mau tahu?”
“Iya donk, kasih tahu Mama.” Mama memohon dengan wajah yang lucu.
Aku tersenyum, aku bisikkan jawabanku di telinga Mama. “O-U-JI.” Aku tersenyum lebar.
“Wah, kalau begitu ajak dia mampir ke rumah ya?”
Aku acungkan jempolku sambil berlalu dari hadapan Mama. Dari balik pintu aku lemparkan kissbye untuk Mama.
“Hati-hati ya.” Mama berteriak dari dalam.
Aku cegat taksi di depan rumah. Langsung menuju taman kota. Di perjalanan dadaku berdegup kencang. Seperti pertama bertemu dengan Ouji. Selalu saja begitu. Padahal aku sudah berpacaran dengannya 3 tahun. Tapi saat akan bertemu seperti ini, pasti aku merasa cemas. Handphone tak bisa lepas dari tanganku. Sesekali bergetar memberitahukan pesan singkat dari Ouji yang masuk. Dengan cekatan tanganku membalas pesan-pesan itu. Aku merasa senang sekali.
Aku berjalan di pinggir taman. Mencari-cari sesosok Ouji. Di tengah taman, seseorang melambai-lambaikan tangannya. Tersenyum lebar. Aku menghampiri Ouji. Tersenyum tersipu saat melihatnya. Kami duduk berdua menikmati nyanyian burung yang berkicau. Tiba-tiba saja aku seperti berada di taman sriwedari. Meskipun begitu, aku merasa canggung dekat dengan Ouji. Benar-benar seperti pertama bertemu. Untuk beberapa saat kami terdiam.
“Kamu sakit?” Ouji bertanya sedikit khawatir. “Pipimu merah.” Dia memegang keningku, “Panas juga.”
Tentu saja, itu karena aku sedang dekat dengan Ouji. Itu tanda kegirangan yang overdosis. Aku kembungkan pipiku, menepuk-nepuknya dengan kedua tangaku.
“Enggak kok, aku baik-baik aja.” Aku tersenyum ke arah Ouji.
“Kok diem aja, biasanya kan cerewet kayak bebek.” Ouji meledek sambil tertawa.
Pipiku mengembung semakin besar, dan memasang wajah sebal. “Itu kan karena aku sudah lama tidak bertemu Ouji, aku malu.” Nada bicaraku menurun.
Ouji tertawa. “Satu hal yang tidak pernah berubah, kau benar-benar lucu, Hime.” Ouji berdiri, menghadap kearahku. Mengulurkan tangannya. “Ayo, kita nikmati hari ini. Mau kemana? Toko buku? Toko komik? Museum? Pameran? Itu hal yang kau sukai bukan?”
Ouji selalu mengerti aku. Ya benar, tempat-tempat itu adalah tempat favoritku. Memang terlihat aneh, tidak seperti gadis-gadis seusiaku yang lebih suka pergi ke pusat perbelanjaan. Aku dan Ouji pergi ke pameran seni. Melihat lukisan-lukisan. Melihat patung-patung. Berfoto. Menyenangkan sekali. Rasa canggungku perlahan menghilang. Hingga matahari semakin condong ke barat. Memancarkan siluet jingga di langit.
Jalanan kota masih sama dari tadi. Penuh dengan kendaran yang berlalu-lalang. Kami melaju berbaur bersama kendaraan lain. Menerobos keramaian.
“Mama, mau Ouji mampir.” Aku mengajaknya masuk kedalam rumah.
“Aku udah kangen banget juga nih sama Tante.” Ouji turun dari motornya, berjalan masuk bersamaku.
“Jadi, Ouji lebih kangen Mama dari pada Aku?” Aku terlihat cemburu.
“Kau ada-ada saja.” Ouji tertawa sambil mengacak rambutku. “100% kangenku untuk Hime.”
Aku tersenyum lega.
Liburan telah berakhir. Aku mulai aktivitasku lagi. Berkutat dengan tugas yang sudah tertunda selama liburan. Tentu saja itu karena aku habiskan liburanku bersama Ouji. Selalu ada tempat untuk dikunjungi termasuk rumah. Seharian bisa saja Ouji di rumah, bercengkrama dengan Mama. Dan terlihat kalau Mama lah pacar Oujii, bukan aku. Aku cemduru.
Setelah liburan berakhir, setiap hari aku pergi ke kampus. Sibuk menemui dosen yang terlalu sibuk pula. Berlari mencoba menyaingi waktu. Tetap saja tidak bisa. Hingga beberapa bulan ini aku tidak pernah berhubungan dengan Ouji. Kami berdua tidak saling menanyakan kabar. Aku tahu dia juga sedang sibuk seperti aku. Sedang berusaha sekuat tenaga meraih cita-citanya. Hingga aku mulai terbiasa tidak pernah bertanya kabar dengan Ouji. Ini pasti akan tidak masuk akal bagi sebagian orang yang menjalin hubungan. Tapi beginilah aku dan Ouji sekarang. Dan kami masih baik-baik saja.
***
From: Ouji
Hime, kalau besok ada waktu aku akan meneleponmu.
Semangat ya
Aku tersenyum gembira saat mendapat pesan singkat dari Ouji. Aku ingat-ingat betul. Besok dia akan meneleponku. Akan tetapi, aku teringat besok aku tidak bisa. Besok aku harus bertemu dengan dosen yang sibuknya tidak bisa di tolerir itu. Bgaimana ini?
To: Ouji
Ouji, besok aku harus bertemu dosenku. Telepon aku siang saja.
Aku membalas pesannya, agar dia tidak kecewa. Rasanya berat sekali. Sekarang baru terasa beratnya. Membagi waktu dengannya.
Sampai siang ternyata aku belum selesai dengan urusan tugasku. Aku lupa memberitahu Ouji. Aku masih berkonsentrasi dengan celotehan dosen yang dari tadi tidak berhenti memberi saran. Aku hanya bisa manggut-manggut. Handphoneku berada pada mode silent.
Setelah selesai, aku mendapatkan pesan singkat dari Ouji dan tanda panggilan. Aku buka pesan singkatnya. Membacanya dengan ragu-ragu.
From: Ouji
Apa hime tidak bisa sebentar saja?
Aku segera membalas pesan singkatnya. Takut dia marah.
To: Ouji
Ouji, maaf. Aku baru selesai. Maaf Ouji.
From: Ouji
Harusnya Hime bisa meluangkan waktunya sebentar. Seperti aku meluangkan waktu liburanku untuk Hime
To: Ouji
Gomen, Ouji. T.T maafkan aku. Maaf!
Ouji tidak membalas pesan dariku. Aku merasa bersalah sekali. Merasa Ouji berubah, dia tidak pernah seperti ini. Dia selalu menerima apa yang aku lakukan. Dia selalu memaafkanku. Dia selalu saja menjaga perasaanku.
Deg.
Dadaku sesak. Benar. Ouji selalu ada di liburanku. Ouji selalu ada. Ouji selalu menerima apa yang aku lakukan. Ouji selalu memaafkan. Ouji selalu menjaga Perasaanku. Dan aku tidak mampu menjaga perasaannya. Mungkin dia kecewa. Dan lagi-lagi, ini akan menjadi hal yang tidak masuk akal lagi. Tapi bukankah hubungan LDR itu memiliki banyak alasan untuk memutuskan jarak yang terpaut jauh itu. Hubungan ini akan terputus bahkan ketika keduanya tidak pernah mengikrarkan kata berpisah. Sampai di sini. Putus begitu saja tergerus waktu.
Berhari-hari, berbulan-bulan aku coba menghubungi Ouji. Tetap tak ada jawaban. Lama-lama aku terbiasa. Melupakannya perlahan. Walau kadang teringat dan kembali menanyakan kenapa harus seperti ini. Dan tak mampu menjawab ketika Mana mulai menanyakannya pula. Aku hanya bisa diam dan mengalihkan permbicaraan.
Saat tugas akhirku telah selesai. Saat aku telah lulus kuliah. Aku benar-benar melupakan Ouji.
Besok aku pulang, temui aku di taman kota ya
Love you, hime
Pagi ini aku mendapatkan pesan singkat dari Ouji. Sudah lama aku tak berjumpa dengannya. Betapa aku kegirangan saat menerima pesan itu. Tak sabar menunggu malam berubah menjadi pagi. Besok saat aku menatap langit pagi, aku akan menemui Ouji.
Kami sudah berpacaran 3 tahun. Orang-orang menyebut hubungan kami long distance relationship-LDR. Hanya waktu-waktu tertentu saja aku bisa menemuinya. Besok adalah libur semester. Walaupun begitu, bagiku ini bukanlah libur seperti biasanya. Kami mahasiswa akhir yang selalu sibuk karena tugas. Tapi itu tidak boleh membuatku membatalkan bertemu dengan Ouji. Kalau bisa liburan ini harus sama seperti liburan sebelumnya, aku habiskan hari-hariku bersama Ouji.
Ouji, bukanlah lelaki yang romantis yang selama ini aku bayangkan. Dia dingin, cuek. Tapi dia masih sempat menyapaku di sela-sela kegiatannya. Entah rasa apa yang membuat aku terlalu percaya pada lelaki itu. Bukankah hubungan LDR itu penuh curiga, kerinduan dan rasa bosan. Waktu 3 tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi hubungan kami. Selama itu semua berjalan dengan lancar. Tanpa menganggu kegiatan kami masing-masing.
***
Aku pilah-pilah baju di lemari kamarku, mematut-matutkannya di depan kaca. Mencoba beberapa baju, tapi tetap saja tidak merasa pas. Karena ini adalah momen yang jarang terjadi, aku ingin Ouji melihatku lebih cantik dari tahun kemarin. Aku Menyiapkan semuanya.
Kriiiiinngggggggg
Alarm di mejaku berbunyi makin kencang. Alarm sengaja ku taruh jauh-jauh dari jangkauan, agar aku bangun. Jam masih menunjukan pukul 5 pagi. Aku matikan alarmnya. Aku usap-usap mataku dengan kedua tanganku. Kemudian membukanya perlahan-lahan. Aku berjalan mundur dari meja, tertduduk di kasur. Bruuuk. Aku kembali jatuh tertidur.
Kriiiiiinngggggggg
Alarmku berbunyi lagi. Terpegang di genggamanku. Aku lihat jarum jamnya. Jam 7. Aku raih handphone di meja. Satu pesan terlihat dilayar. Dari Ouji.
From: Ouji
Hime, bangun! sudah pagi :D
Jangan lupa, aku tunggu jam 9 ya.
Aku tersenyum membaca pesan dari Ouji. Bergegas aku mainkan tanganku di layar handphone, membalas pesan singkat dari Ouji. Kemudian aku keluar kamar. Menyapa udara segar pagi ini. Tersenyum pada langit biru dan matahari pagi. Menatap awan yang berarak.
Pukul 8. Aku berangkat menuju taman kota. Berdandan secantik mungkin. Setelan hijau pastel dan pink. Terlihat manis seperti gulali.
“Anak mama cantik banget hari ini, mau kemana?” Mama mencegatku saat turun dari tangga.
“Mama mau tahu?”
“Iya donk, kasih tahu Mama.” Mama memohon dengan wajah yang lucu.
Aku tersenyum, aku bisikkan jawabanku di telinga Mama. “O-U-JI.” Aku tersenyum lebar.
“Wah, kalau begitu ajak dia mampir ke rumah ya?”
Aku acungkan jempolku sambil berlalu dari hadapan Mama. Dari balik pintu aku lemparkan kissbye untuk Mama.
“Hati-hati ya.” Mama berteriak dari dalam.
Aku cegat taksi di depan rumah. Langsung menuju taman kota. Di perjalanan dadaku berdegup kencang. Seperti pertama bertemu dengan Ouji. Selalu saja begitu. Padahal aku sudah berpacaran dengannya 3 tahun. Tapi saat akan bertemu seperti ini, pasti aku merasa cemas. Handphone tak bisa lepas dari tanganku. Sesekali bergetar memberitahukan pesan singkat dari Ouji yang masuk. Dengan cekatan tanganku membalas pesan-pesan itu. Aku merasa senang sekali.
Aku berjalan di pinggir taman. Mencari-cari sesosok Ouji. Di tengah taman, seseorang melambai-lambaikan tangannya. Tersenyum lebar. Aku menghampiri Ouji. Tersenyum tersipu saat melihatnya. Kami duduk berdua menikmati nyanyian burung yang berkicau. Tiba-tiba saja aku seperti berada di taman sriwedari. Meskipun begitu, aku merasa canggung dekat dengan Ouji. Benar-benar seperti pertama bertemu. Untuk beberapa saat kami terdiam.
“Kamu sakit?” Ouji bertanya sedikit khawatir. “Pipimu merah.” Dia memegang keningku, “Panas juga.”
Tentu saja, itu karena aku sedang dekat dengan Ouji. Itu tanda kegirangan yang overdosis. Aku kembungkan pipiku, menepuk-nepuknya dengan kedua tangaku.
“Enggak kok, aku baik-baik aja.” Aku tersenyum ke arah Ouji.
“Kok diem aja, biasanya kan cerewet kayak bebek.” Ouji meledek sambil tertawa.
Pipiku mengembung semakin besar, dan memasang wajah sebal. “Itu kan karena aku sudah lama tidak bertemu Ouji, aku malu.” Nada bicaraku menurun.
Ouji tertawa. “Satu hal yang tidak pernah berubah, kau benar-benar lucu, Hime.” Ouji berdiri, menghadap kearahku. Mengulurkan tangannya. “Ayo, kita nikmati hari ini. Mau kemana? Toko buku? Toko komik? Museum? Pameran? Itu hal yang kau sukai bukan?”
Ouji selalu mengerti aku. Ya benar, tempat-tempat itu adalah tempat favoritku. Memang terlihat aneh, tidak seperti gadis-gadis seusiaku yang lebih suka pergi ke pusat perbelanjaan. Aku dan Ouji pergi ke pameran seni. Melihat lukisan-lukisan. Melihat patung-patung. Berfoto. Menyenangkan sekali. Rasa canggungku perlahan menghilang. Hingga matahari semakin condong ke barat. Memancarkan siluet jingga di langit.
Jalanan kota masih sama dari tadi. Penuh dengan kendaran yang berlalu-lalang. Kami melaju berbaur bersama kendaraan lain. Menerobos keramaian.
“Mama, mau Ouji mampir.” Aku mengajaknya masuk kedalam rumah.
“Aku udah kangen banget juga nih sama Tante.” Ouji turun dari motornya, berjalan masuk bersamaku.
“Jadi, Ouji lebih kangen Mama dari pada Aku?” Aku terlihat cemburu.
“Kau ada-ada saja.” Ouji tertawa sambil mengacak rambutku. “100% kangenku untuk Hime.”
Aku tersenyum lega.
Liburan telah berakhir. Aku mulai aktivitasku lagi. Berkutat dengan tugas yang sudah tertunda selama liburan. Tentu saja itu karena aku habiskan liburanku bersama Ouji. Selalu ada tempat untuk dikunjungi termasuk rumah. Seharian bisa saja Ouji di rumah, bercengkrama dengan Mama. Dan terlihat kalau Mama lah pacar Oujii, bukan aku. Aku cemduru.
Setelah liburan berakhir, setiap hari aku pergi ke kampus. Sibuk menemui dosen yang terlalu sibuk pula. Berlari mencoba menyaingi waktu. Tetap saja tidak bisa. Hingga beberapa bulan ini aku tidak pernah berhubungan dengan Ouji. Kami berdua tidak saling menanyakan kabar. Aku tahu dia juga sedang sibuk seperti aku. Sedang berusaha sekuat tenaga meraih cita-citanya. Hingga aku mulai terbiasa tidak pernah bertanya kabar dengan Ouji. Ini pasti akan tidak masuk akal bagi sebagian orang yang menjalin hubungan. Tapi beginilah aku dan Ouji sekarang. Dan kami masih baik-baik saja.
***
From: Ouji
Hime, kalau besok ada waktu aku akan meneleponmu.
Semangat ya
Aku tersenyum gembira saat mendapat pesan singkat dari Ouji. Aku ingat-ingat betul. Besok dia akan meneleponku. Akan tetapi, aku teringat besok aku tidak bisa. Besok aku harus bertemu dengan dosen yang sibuknya tidak bisa di tolerir itu. Bgaimana ini?
To: Ouji
Ouji, besok aku harus bertemu dosenku. Telepon aku siang saja.
Aku membalas pesannya, agar dia tidak kecewa. Rasanya berat sekali. Sekarang baru terasa beratnya. Membagi waktu dengannya.
Sampai siang ternyata aku belum selesai dengan urusan tugasku. Aku lupa memberitahu Ouji. Aku masih berkonsentrasi dengan celotehan dosen yang dari tadi tidak berhenti memberi saran. Aku hanya bisa manggut-manggut. Handphoneku berada pada mode silent.
Setelah selesai, aku mendapatkan pesan singkat dari Ouji dan tanda panggilan. Aku buka pesan singkatnya. Membacanya dengan ragu-ragu.
From: Ouji
Apa hime tidak bisa sebentar saja?
Aku segera membalas pesan singkatnya. Takut dia marah.
To: Ouji
Ouji, maaf. Aku baru selesai. Maaf Ouji.
From: Ouji
Harusnya Hime bisa meluangkan waktunya sebentar. Seperti aku meluangkan waktu liburanku untuk Hime
To: Ouji
Gomen, Ouji. T.T maafkan aku. Maaf!
Ouji tidak membalas pesan dariku. Aku merasa bersalah sekali. Merasa Ouji berubah, dia tidak pernah seperti ini. Dia selalu menerima apa yang aku lakukan. Dia selalu memaafkanku. Dia selalu saja menjaga perasaanku.
Deg.
Dadaku sesak. Benar. Ouji selalu ada di liburanku. Ouji selalu ada. Ouji selalu menerima apa yang aku lakukan. Ouji selalu memaafkan. Ouji selalu menjaga Perasaanku. Dan aku tidak mampu menjaga perasaannya. Mungkin dia kecewa. Dan lagi-lagi, ini akan menjadi hal yang tidak masuk akal lagi. Tapi bukankah hubungan LDR itu memiliki banyak alasan untuk memutuskan jarak yang terpaut jauh itu. Hubungan ini akan terputus bahkan ketika keduanya tidak pernah mengikrarkan kata berpisah. Sampai di sini. Putus begitu saja tergerus waktu.
Berhari-hari, berbulan-bulan aku coba menghubungi Ouji. Tetap tak ada jawaban. Lama-lama aku terbiasa. Melupakannya perlahan. Walau kadang teringat dan kembali menanyakan kenapa harus seperti ini. Dan tak mampu menjawab ketika Mana mulai menanyakannya pula. Aku hanya bisa diam dan mengalihkan permbicaraan.
Saat tugas akhirku telah selesai. Saat aku telah lulus kuliah. Aku benar-benar melupakan Ouji.