RSS

Rabu, 10 Juli 2013

Sampai Di Sini

From: Ouji
Besok aku pulang, temui aku di taman kota ya
Love you, hime

Pagi ini aku mendapatkan pesan singkat dari Ouji. Sudah lama aku tak berjumpa dengannya. Betapa aku kegirangan saat menerima pesan itu. Tak sabar menunggu malam berubah menjadi pagi. Besok saat aku menatap langit pagi, aku akan menemui Ouji.
Kami sudah berpacaran 3 tahun. Orang-orang menyebut hubungan kami long distance relationship-LDR. Hanya waktu-waktu tertentu saja aku bisa menemuinya. Besok adalah libur semester. Walaupun begitu, bagiku ini bukanlah libur seperti biasanya. Kami mahasiswa akhir yang selalu sibuk karena tugas.  Tapi itu tidak boleh membuatku membatalkan bertemu dengan Ouji. Kalau bisa liburan ini harus sama seperti liburan sebelumnya, aku habiskan hari-hariku bersama Ouji.
Ouji, bukanlah lelaki yang romantis yang selama ini aku bayangkan. Dia dingin, cuek. Tapi dia masih sempat menyapaku di sela-sela kegiatannya. Entah rasa apa yang membuat aku terlalu percaya pada lelaki itu. Bukankah hubungan LDR itu penuh curiga, kerinduan dan rasa bosan. Waktu 3 tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi hubungan kami. Selama itu semua berjalan dengan lancar. Tanpa menganggu kegiatan kami masing-masing.
***
Aku pilah-pilah baju di lemari kamarku, mematut-matutkannya di depan kaca. Mencoba beberapa baju, tapi tetap saja tidak merasa pas. Karena ini adalah momen yang jarang terjadi, aku ingin Ouji melihatku lebih cantik dari tahun kemarin. Aku Menyiapkan semuanya.

Kriiiiinngggggggg

Alarm di mejaku berbunyi makin kencang. Alarm sengaja ku taruh jauh-jauh dari jangkauan, agar aku bangun. Jam masih menunjukan pukul 5 pagi. Aku matikan alarmnya. Aku usap-usap mataku dengan kedua tanganku. Kemudian membukanya perlahan-lahan. Aku berjalan mundur dari meja, tertduduk di kasur. Bruuuk. Aku kembali jatuh tertidur.

Kriiiiiinngggggggg

Alarmku berbunyi lagi. Terpegang di genggamanku. Aku lihat jarum jamnya. Jam 7. Aku raih handphone di meja. Satu pesan terlihat dilayar. Dari Ouji.

From: Ouji
Hime, bangun! sudah pagi :D
Jangan lupa, aku tunggu jam 9 ya.

Aku tersenyum membaca pesan dari Ouji. Bergegas aku mainkan tanganku di layar handphone, membalas pesan singkat dari Ouji. Kemudian aku keluar kamar. Menyapa udara segar pagi ini. Tersenyum pada langit biru dan matahari pagi. Menatap awan yang berarak.

Pukul 8. Aku berangkat menuju taman kota. Berdandan secantik mungkin. Setelan hijau pastel dan pink. Terlihat manis seperti gulali.
“Anak mama cantik banget hari ini, mau kemana?” Mama mencegatku saat turun dari tangga.
“Mama mau tahu?”
“Iya donk, kasih tahu Mama.” Mama memohon dengan wajah yang lucu.
Aku tersenyum, aku bisikkan jawabanku di telinga Mama. “O-U-JI.” Aku tersenyum lebar.
“Wah, kalau begitu ajak dia mampir ke rumah ya?”
Aku acungkan jempolku sambil berlalu dari hadapan Mama. Dari balik pintu aku lemparkan kissbye untuk Mama.
“Hati-hati ya.” Mama berteriak dari dalam.
Aku cegat taksi di depan rumah. Langsung menuju taman kota. Di perjalanan dadaku berdegup kencang. Seperti pertama bertemu dengan Ouji. Selalu saja begitu. Padahal aku sudah berpacaran dengannya 3 tahun. Tapi saat akan bertemu seperti ini, pasti aku merasa cemas. Handphone tak bisa lepas dari tanganku. Sesekali bergetar memberitahukan pesan singkat dari Ouji yang masuk. Dengan cekatan tanganku membalas pesan-pesan itu. Aku merasa senang sekali.
Aku berjalan di pinggir taman. Mencari-cari sesosok Ouji. Di tengah taman, seseorang melambai-lambaikan tangannya. Tersenyum lebar. Aku menghampiri Ouji. Tersenyum tersipu saat melihatnya. Kami duduk berdua menikmati nyanyian burung yang berkicau. Tiba-tiba saja aku seperti berada di taman sriwedari. Meskipun begitu, aku merasa canggung dekat dengan Ouji. Benar-benar seperti pertama bertemu. Untuk beberapa saat kami terdiam.
“Kamu sakit?” Ouji bertanya sedikit khawatir. “Pipimu merah.” Dia memegang keningku, “Panas juga.”
Tentu saja, itu karena aku sedang dekat dengan Ouji. Itu tanda kegirangan yang overdosis. Aku kembungkan pipiku, menepuk-nepuknya dengan kedua tangaku.
“Enggak kok, aku baik-baik aja.” Aku tersenyum ke arah Ouji.
“Kok diem aja, biasanya kan cerewet kayak bebek.” Ouji meledek sambil tertawa.
Pipiku mengembung semakin besar, dan memasang wajah sebal. “Itu kan karena aku sudah lama tidak bertemu Ouji, aku malu.” Nada bicaraku menurun.
Ouji tertawa. “Satu hal yang tidak pernah berubah, kau benar-benar lucu, Hime.” Ouji berdiri, menghadap kearahku. Mengulurkan tangannya. “Ayo, kita nikmati hari ini. Mau kemana? Toko buku? Toko komik? Museum? Pameran? Itu hal yang kau sukai bukan?”
Ouji selalu mengerti aku. Ya benar, tempat-tempat itu adalah tempat favoritku. Memang terlihat aneh, tidak seperti gadis-gadis seusiaku yang lebih suka pergi ke pusat perbelanjaan. Aku dan Ouji pergi ke pameran seni. Melihat lukisan-lukisan. Melihat patung-patung. Berfoto. Menyenangkan sekali. Rasa canggungku perlahan menghilang. Hingga matahari semakin condong ke barat. Memancarkan siluet jingga di langit.
Jalanan kota masih sama dari tadi. Penuh dengan kendaran yang berlalu-lalang. Kami melaju berbaur bersama kendaraan lain. Menerobos keramaian.
“Mama, mau Ouji mampir.” Aku mengajaknya masuk kedalam rumah.
“Aku udah kangen banget juga nih sama Tante.” Ouji turun dari motornya, berjalan masuk bersamaku.
“Jadi, Ouji lebih kangen Mama dari pada Aku?” Aku terlihat cemburu.
“Kau ada-ada saja.” Ouji tertawa sambil mengacak rambutku. “100% kangenku untuk Hime.”
Aku tersenyum lega.
Liburan telah berakhir. Aku mulai aktivitasku lagi. Berkutat dengan tugas yang sudah tertunda selama liburan. Tentu saja itu karena aku habiskan liburanku bersama Ouji. Selalu ada tempat untuk dikunjungi termasuk rumah.  Seharian bisa saja Ouji di rumah, bercengkrama dengan Mama. Dan terlihat kalau Mama lah pacar Oujii, bukan aku. Aku cemduru.
Setelah liburan berakhir, setiap hari aku pergi ke kampus. Sibuk menemui dosen yang terlalu sibuk pula. Berlari mencoba menyaingi waktu. Tetap saja tidak bisa. Hingga beberapa bulan ini aku tidak pernah berhubungan dengan Ouji. Kami berdua tidak saling menanyakan kabar. Aku tahu dia juga sedang sibuk seperti aku. Sedang berusaha sekuat tenaga meraih cita-citanya. Hingga aku mulai terbiasa tidak pernah bertanya kabar dengan Ouji. Ini pasti akan tidak masuk akal bagi sebagian orang yang menjalin hubungan. Tapi beginilah aku dan Ouji sekarang. Dan kami masih baik-baik saja.
***
From: Ouji
Hime, kalau besok ada waktu aku akan meneleponmu.
Semangat ya

Aku tersenyum gembira saat mendapat pesan singkat dari Ouji. Aku ingat-ingat betul. Besok dia akan meneleponku. Akan tetapi, aku teringat besok aku tidak bisa. Besok aku harus bertemu dengan dosen yang sibuknya tidak bisa di tolerir itu. Bgaimana ini?

To: Ouji
Ouji, besok aku harus bertemu dosenku. Telepon aku siang saja.

Aku membalas pesannya, agar dia tidak kecewa. Rasanya berat sekali. Sekarang baru terasa beratnya. Membagi waktu dengannya.
Sampai siang ternyata aku belum selesai dengan urusan tugasku. Aku lupa memberitahu Ouji. Aku masih berkonsentrasi dengan celotehan dosen yang dari tadi tidak berhenti memberi saran. Aku hanya bisa manggut-manggut. Handphoneku berada pada mode silent.
Setelah selesai, aku mendapatkan pesan singkat dari Ouji dan tanda panggilan. Aku buka pesan singkatnya. Membacanya dengan ragu-ragu.

From: Ouji
Apa hime tidak bisa sebentar saja?

Aku segera membalas pesan singkatnya. Takut dia marah.

To: Ouji
Ouji, maaf. Aku baru selesai. Maaf Ouji.

From: Ouji
Harusnya Hime bisa meluangkan waktunya sebentar. Seperti aku meluangkan waktu liburanku untuk Hime

To: Ouji
Gomen, Ouji. T.T maafkan aku. Maaf!

Ouji tidak membalas pesan dariku. Aku merasa bersalah sekali. Merasa Ouji berubah, dia tidak pernah seperti ini. Dia selalu menerima apa yang aku lakukan. Dia selalu memaafkanku. Dia selalu saja menjaga perasaanku.

Deg.

Dadaku sesak. Benar. Ouji selalu ada di liburanku. Ouji selalu ada. Ouji selalu menerima apa yang aku lakukan. Ouji selalu memaafkan. Ouji selalu menjaga Perasaanku. Dan aku tidak mampu menjaga perasaannya. Mungkin dia kecewa. Dan lagi-lagi, ini akan menjadi hal yang tidak masuk akal lagi. Tapi bukankah hubungan LDR itu memiliki banyak alasan untuk memutuskan jarak yang terpaut jauh itu. Hubungan ini akan terputus bahkan ketika keduanya tidak pernah mengikrarkan kata berpisah. Sampai di sini. Putus begitu saja tergerus waktu.
Berhari-hari, berbulan-bulan aku coba menghubungi Ouji. Tetap tak ada jawaban. Lama-lama aku terbiasa. Melupakannya perlahan. Walau kadang teringat dan kembali menanyakan kenapa harus seperti ini. Dan tak mampu menjawab ketika Mana mulai menanyakannya pula. Aku hanya bisa diam dan mengalihkan permbicaraan.
Saat tugas akhirku telah selesai. Saat aku telah lulus kuliah. Aku benar-benar melupakan Ouji.

Senin, 08 Juli 2013

ENAM tahun Aku...

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam
Enam tahun sudah berlalu. Cepat sekali.  Aku hampir menyelesaikan studiku di salah satu perguruan negeri terbesar di kota  ini. Dan aku masih menyimpan harapan yang sama seperti 6 tahun yang lalu. Tidak pernah berkurang sekalipun rasa ini. Sama besarnya. Tiap kali aku berdoa, selalu sama, berharap Tuhan akan mengabulkannya.
Gadis macam apa yang bisa-bisanya menyimpan perasaannya selama itu. Menyimpan rapat-rapat. Membiarkannya tumbuh perlahan. Tujuan semulaku adalah membiarkannya mati kering, tapi malah sebaliknya makin subur melingkupi ruang hatiku. Bayangan itu masih sama enam tahun yang lalu. Membuatku bertanya seperti apa dia sekarang. Enam tahun ini itulah pertanyaan yang selalu mengisi pikiranku.
Aku akan menyerah dua tahun lagi. Aku akan meninggalkan harapanku. Kuberi batas waktu dua tahun ini. Saat aku benar-benar pergi dari kota ini. Kota dimana aku bertemu dia. Meninggalkan sejuta kenangan. Saat aku benar-benar tidak akan bisa melihatnya lagi. Saat aku benar-benar tidak bisa mengingat bayangannya. Biarkan 2 tahun ini aku menikmati perasaan yang telah tumbuh selama enam tahun. Biarkan aku bersedusedan dengan semua ini.
Bruuukk
Aku terjatuh, tersungkur. Di depanku berdiri seorang laki-laki. Menunduk menatap dengan muka penuh penyesalan. Mencoba membantuku berdiri lagi.
“Maaf ya. Aku enggak sengaja. Maaf. Maaf.” Dia membungkuk-bungkuk seperti orang jepang dan mengoceh meminta maaf. Aku malah yang merasa lebih salah lagi, aku sedang melamun sambil berjalan.
“Ah, enggak apa-apa kok. Aku juga minta maaf.” Aku menepuk-nepuk rok belakangku membersihkan debu yang menempel.
“Maaf ya.” Dia berlari berteriak sambil melambaikan tangannya.
Dan aku tersadar dari lamunanku. Terus berjalan berhati-hati. Kemudian aku duduk di salah satu bangku taman.
“Siapa ya cowok tadi?” aku bertanya-tanya dalam hati penasaran.
Selang beberapa hari aku bertemu dengannya lagi. Entah apa, sekarang aku jadi sering bertemu dengan dia. Di kantin, di lobi, di parkiran, di tangga, di jalan, di taman, dimanapun di sudut sekolah. Entah hanya kebetulan saja atau karena aku yang selalu memperhatikan dia.
Hari ini aku bertemu dengannya di taman. Dia sedang duduk bersama teman-temannya. Aku sendiri. Menikmati sepoi-sepoi angin musim kemarau. Berteduh diantara pepohonan taman sekolah. Membolak-balik novel yang sedari tadi ada di tanganku. Sesekali melirik kearahnya. Sekali, duakali kami bertatapan bersama kemudian segera berpaling. Aku kembali membaca novel dan dia kembali berbicara dengan teman-temannya. Sesaat itu aku merasakan perasaan aneh. Aku tiba-tiba canggung. Salah tingkah. Sambil menyelesaikan membaca aku mencuri-curi pandang kearahnya.
Sampai di kelas aku masih saja menyakinkan hatiku agar tidak kegirangan. Mencoba menenangkan perasaan yang tiba-tiba mengembang di dalam dada. Menyembunyikan semu merah di pipiku. Menyembunyikan simpul senyum di bibirku. Menyembunyikannya dari teman-temanku. Maka saat pelajaran tiba, aku sibuk mencoret-coret bukuku dengan simpul senyum dimana-mana. Mengambar bunga dan daun waru dimana-mana. Tanpa aku bicara semua orang pasti akan tahu aku sedang jatuh cinta. Tapi tetap saja aku akan mengelak. Aku akan mengatakan tidak. Dan berdalih itu hanya gambar biasa yang sering anak-anak TK gambar. Tidak lebih dan tidak kurang, bukan tanda-tanda dariapapun. Itu hanya gambar biasa. Seperti itulah saat teman-temanku mulai curiga, seperti itulah penjelasan untuk mereka.
Satu. Dua. Tiga.
Tiga tahun aku bertahan dengan  cinta yang tak tersampaikan. Bertanya-tanya dalam hati tentang perasaannya padaku. Memperhatikan dia setiap hari. Menatap dari balik jendela. Berjalan dibelakangnya. Memandangnya dari jauh, berharap dia berbalik dan melambaikan tangan seperti saat aku bertemu dengannya pertama kali.
Tahun lalu, baru aku sadari ternyata dia idola anak-anak di sekolah. Anak yang baik. Anak yang pandai. Dan lelaki yang tampan. Dia tinggi. Pandai bermain basket. Dia anggota paskibraka sekolah. Dia selalu menjadi 5 besar di kelasnya. Begitulah dia sempurna menjadi idola di sekolah.
Lihatlah, jarak kami seperti bumi dan matahari, berpuluh-puluh, berjuta-juta meter hingga aku tak sanggup mengukurnya. Namun itu sama halnya dengan perasaanku yang makin lama lingkarannya membesar seperti jarak bumi dan matahari. Maka saat itu, aku memutuskan untuk mengatakan perasaan ini padanya suatu saat nanti.
“Kamu sendiri?”
Aku menoleh kearah suara, mendongak keatas.
“I..Iya.” Aku terbata menjawab, panik. Mencoba menyembunyikan semu merah wajahku. Memegangi dadaku memastikan dia tak berdetak terlalu kencang.
“Boleh aku duduk disini?” Dia menunjuk bangku disebelahku.
“Boleh.” Aku mengangguk kencang. Tersenyum lebar.
Di depan kami sekarang ada sebuah panggung yang sedang memainkan drama. Kami duduk di bangku paling belakang berdua. Terdiam satu sama lain.
“Semoga dia tidak melihat ku.” Aku berharap dalam hati, takut dia melihatku yang sudah tak karuan sikap dan perasaannya.
Dia menatap kedepan. Menatap orang-orang yang ada di panggung. Kemudian terkekeh sebentar saat orang-orang itu melucu. Aku hanya bisa tersenyum. Saat aku mengingat keinginan untuk mengatakan perasaanku padanya, aku menjadi sesak. Kaku, terdiam. Kemudian aku membiarkan suasana ini lebih lama. Duduk berdua bersama dia. Walau hanya saling berdiam.
Maka itu adalah hari terakhirku melihatnya. Kami sudah lulus dari sekolah. Entah dimana dia sekarang. Pasti masih saja menjadi idola. Pasti masih sama baiknya seperti dulu. Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.
Tiga tahun berselang. Sebentar lagi aku dan dia menyelesaikan kuliah. Perasaan yang tumbuh perlahan itu mencuat kepermukaan. Kembali mengingatnya. Bahkan setelah 6 tahun berlalu. Setelah 3 tahun tak pernah berjumpa dengannya. Doaku terlontar kelangit, memohon dipertemukan lagi dengannya.
Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam.
Aku menghitung waktu yang telah berlalu. Waktu dimana perasaan ini masih tersimpan rapat, masih sama seperti dulu.

Jumat, 05 Juli 2013

pesona Mr. X

Musim hujan, mendung selalu menghiasi langit. Tapi tidak untuk hari ini. Hari yang cerah. Gerimis turun dengan alun di bawah terik sinar mentari. Sore ini pun begitu, gerimis turun perlahan sedangkan matahari masih setia menyinari bumi. Sebentar saja. Gerimis pergi tak mau berlama-lama.
Aku pergi meninggalkan tempat yang seharian ini aku habiskan bercanda, bergurau, bersantai. Tempat macam apa sebenarnya ini. Ya begitulah arti tempat ini untukku, bukan untuk berserius ria menunggu hasil ujian, atau merasa tegang menghadai ujian. Tempat penuh sendau gurau. Begitulah.
Lagi dan lagi aku melaju kejalanan, berbaur lagi dan lagi dengan polusi yang terkadang memuakan. Dan lagi lagi, melaju bersama orang-orang yang tak pernah bosan menikmati polusi.  Melambat dan melaju kencang, aku mainkan gas di tangan kananku. Mengerem mendadak ketika ada mobil menyebrang sembarangan.  Lelah. Aku lelah setiap hari melewati jalanan.
Tentu saja aku lelah, aku kan mahasiswa antar kota antar propinsi. Tidak boleh ‘ngekost’. Padahal hal pertama yang ingin aku rasakan menjadi seorang mahasiswa adalah tinggal di luar rumah, merasakan kejamnya kesendirin di dalam kost. Siapa sangka, semua itu tidak terwujud dengan indah. Jadilah aku sekarang melaju beriringan dengan polusi setiap hari. Terpaksa bersahabat dengan polusi.
Tidak pernah ada momen spesial di jalan ini. Sama saja setiap hari. Pemandangan yang sama. Kanan kiri toko berjejer rapi, pohon-pohon penyejuk berdiri kokoh. Mobil-mobil, motor-motor, bus-bus, truk-truk, masih sama saja. Kendaraan-kendaraan itu memenuhi jalanan. Kadang melaju seenaknya, merasa ada di lintasan balap. Iya, balapan dengan waktu, telat.
Hari ini aku nikmati perjalanan pulangku, berbaikan dengan polusi. Berlama-lama dengan polusi. Aku melaju santai. Melihat senja yang mulai nampak. Menikmati pemandangan kota. Mengamati dengan seksama, yang biasanya aku abaikan begitu saja.
Aku melewati jembatan panjang. Jika kau menengok ke kiri, pemandangan senja begitu indah. Matahari bertengger di atas bukit barisan. Menghilang perlahan di balik bukit. Langit jingga, ah entah sejak kapan aku suka melihat langit senja. Ternyata memang benar-benar indah. Bukan. Aku bukan sok romantis seperti cerita-cerita novel atau sinetron di tv. Karena warna senja itu ternyata  menentramkan jiwa.
Aku berbelok ke kanan, menyeberang jalan. Setelah sebelumnya aku melaju kencang mencoba menyaingi kendaraan dibelakangku. Berdiam sejenak di tengah jalan, berharap kendaraan dari arah lain berbaik hati mengijinkan aku menyeberang. Ada beberapa motor didepanku yang akan menyeberang juga. Satu per satu motor itu melaju dan aku mengikutinya.
Dan tiba-tiba aku melihat sesosok itu. “Ha?” kagetku dalam hati. Aku lihat, aku lirik dengan seksama. Siapa? Sebut saja mas X. Iya, siapa mas X? Anggap saja orang yang berlalu dijalanan. Terus, apa hubungannya? Saya mengagumi mas X ini.
“Pasti dia orang yang pinter” batinku, sambil terus melaju dibelakangnya.
Aku ikuti dia, tidak mau menyalip. Aku sabar mengikuti. Santai, ini kelewat santai. Lambat, ini lumayan lambat. Tapi, sudahlah, aku menyukai momen mengikutinya saat ini. Buyar. Pikiran ku kembali lagi ke sosok yang entah berada dimana itu. Yang selalu berharap mendapati momen seperti ini bersama dia.
Ya beginilah, yang ada di depanku sekarang mas X, bukan yang lain. Rada jengkel juga pas lewat polisi tidur. Mas X ini berhati-hati sekali sehingga dia melaju dengan apik tanpa guncangan yang berarti. Berbeda denganku yang menerobos begitu saja. Dan kali ini aku mengikuti cara mas X. Hampir. Hampir saja menabrak ban belakang motor mas X.
“Ah, aku harus melaju lebih kencang lagi, melepaskan pesona mas X” aku tancap gas, aku salip mas X. Aku melaju kencang meninggalkan mas X jauh dibelakang. Hingga mas X benar-benar tidak terdeteksi lagi.
Hari ini, jalanan telah memberikan cerita baru lagi. Hai polusi, kau melihatnya bukan?