Menulis diary adalah sesuatu yang
sudah lazim dilakukan di keluargaku. Bakat mencoret-coret kami dapatkan dari
bapak. Kami memang lebih suka
menyalurkan perasaan melalui tulisan. Kemudian membacanya kembali sambil
bernostalgia dengan perasaan malu, aneh, bahagia, sedih.
Bapak, adalah penulis paling
handal. Karena semua kertas bisa menjadi tempat beliau menulis. Kertas baru
hingga kertas bekas bungkus apapun akan penuh dengan deretan huruf. Sudah
berapa banyak kertas beliau habiskan untuk menuliskan pemikirannya. Yang
kebanyakan tulisan itu berakhir di tempat sampah saking banyaknya. Lemari kami
juga penuh dengan buku dan kertas juga diary.
Jelasnya, diary bapakku isinya
bukan kegalauan macam diary anak-anaknya yang suka galau ngomongin cowok. Diary
bapakku tentang kegalauan beliau terhadap negara dan masyarakat sekitar. Ah
berbobot sekali.
Kita tengok diary alay punya
kakak-kakakku dan punyaku sendiri.
Diary kami sama. Isinya
kegalauan-kegalauan tentang apalagi kalau bukan cowok trus temen trus
orang-orang disekitar kami. Jauh-jauhlah diary kami dari bahasan negara dan
hal-hal berbobot lainnya. Tentu saja karena kami adalah gadis-gadis normal di
usianya.
Aku baca diary kakakku. Isinya
tentang lelaki-lelaki entah siapa mereka. Tapi lihatlah sekarang. Taka da
satupun nama lelaki dalam diary kakaku yang sekarang menjadi kaka iparku. Tidak
ada. Kemudian disitulah aku mulai berfikir. Hey kamu, yang namamu hampir selalu
tersebut dalam diaryku. Kau tahu apa kesimpulan yang aku dapatkan dari diary
kakakku itu?
Iya, kemungkinan memang benar.
Siapa kelak yang akan menjadi pendampingku bukanlah kau yang namanya hampir
selalu tersebut dalam diaryku. Mungkin saat aku kelak membuka diaryku lagi aku
hampir tak ada niatan untuk membacanya lagi, apalagi di bagian namamu yang
hampir selalu tersebut dalam diaryku.
Kelak aku memang tidak akan
membacanya lagi, membukanya saja enggan, menyimpannya saja mungkin malas.
Namun, hari ini, diaryku adalah obat paling ampuh mengobati perasaanku.
0 komentar:
Posting Komentar