RSS

Jumat, 14 Maret 2014

Setiap Tahun (aku dan kamu)

setiap tahun bahkan setiap hari kita bisa bertemu. enam tahun aku bisa bertemu denganmu seminggu 6 kali. kita habiskan pagi hingga siang kita di tempat yang sama. tak perduli satu sama lain. tak tahu satu sama lain. bukankah dulu kita pernah satu klub jurnalistik. iya kan? atau aku yang salah. dulu aku masuk klub jurnalistik tapi keluar karena merasa tidak berbakat menulis. tapi sekarang aku bahkan suka mencoret-coret buku seperti bapak. tapi tulisan ini tidak ada nilai jurnalistiknya.
tapi dulu aku memang tidak ada alasan untuk tetap di klub jurnalistik. bahkan kamu juga tidak bisa dijadikan alasan. karena saat itu, siapa kamu? aku bahkan tidak mengenal dengan baik. siapa?? aku tidak pernah perduli.
dan enam tahun berlalu. aku dan kamu sudah tidak bisa bertemu enam kali seminggu. aku dan kamu sudah tidak bisa bersapa lagi. jika ada dua ujung yang berlawanan maka kita berada di masing-masing ujungnya. dipisahkan oleh jarak yang begitu jauh. 
siapa? ya kamu. siapa? entah, tapi aku mulai perduli. 
sekarang bertemu sedetikpun aku ingin sekali. tapi sesuatu itu tidak mudah untuk diakukan. diawal perpisahan mungkin aku masih bisa bertemu, masih bisa menyapa. tapi waktu terus berjalan menggerus jarak yang semakin tak terhubung lagi. satu dua tahun, aku bisa bertemu denganmu. tiga empat tahun, entah bagaimana aku bisa melihatmu. saat aku menuju ke titik tengah jarak itu, kamu tidak pernah muncul. 
harapan itu perlahan akan ikut tergerus waktu. ingatan ini juga perlahan tergerus peristiwa baru. sampai disaat, aku sudah tak lagi melihat jarak yang semakin jauh itu. terlalu jauh untukku bisa melihatnya. seperti ujung galaksi yang tak tahu dimana.
januari tahun lalu, di gedung pusat. mungkin itu adalah titik tengah jarak di antara kita. kemungkinan yang terjadi 1 banding 365 itu terjadi. jarak itu tak terlihat. aku dan kamu bertemu lagi. aku bisa melihatmu, aku bisa menyapamu. aku bisa bebicara denganmu. walau itu hanya sepersekian menit. waktu itu terjadi singkat. dan jarak itu kembali melebar. memisahkan aku dan kamu lagi.
siapa? entah, tapi aku ingin bertemu lagi.
rasanya akan sulit. dan semakin sulit. jarak ini akan semakin melebar dan menjauhkan lebih lebih dan lebih jauh lagi. tidak akan aku dan kamu berada di tempat yang sama lagi. sebentar lagi. jarak ini akan berubah lagi. 
februari tahun ini, di gedung pusat.  mungkin ini adaah titik tengah jarak di antara kita. kemungkinan yang terjadi 1 dibanding 365 itu terjadi lagi. jarak itu tak terlihat. aku dan kamu bertemu lagi. tak saling mengenal, tak saling menyapa. walau saat itu aku ingin berteriak ke arah mu yang berlalu dengan cepat. walau aku ingin berlari kearahmu dan menyapamu. aku hanya bisa melihat jarak diantara kita perlahan melebar lagi. ini seperti gerhana matahari, bulan dan matahari bertemu di satu garis, tidak lama. dan saling menjauh lagi.
siapa? entah, tapi aku harap tahun depan aku bertemu lagi.
tahun depan. aku tidak bisa meramalkan. tapi aku ingin bertemu lagi di bulan maret di gedung pusat. titik tengah jarak di antara kita. kemungkinan itu tidak akan sama dengan yang lalu. setelah tahun ini, semua akan semakin sulit. 
dimana titik tengah jarak kita kelak? jika aku bisa memintanya padamu. aku tidak ingin  ada jarak lagi diantara kita. agar perbadingan 1: 365 itu berubah 365:365. agar aku bisa bertemu setiap hari, bukan 6 hari dalam 7 hari. tapi 7 hari dalam 7 hari. bukan  1 hari dalam 365 hari. tapi 365 hari dalam 365 hari. 
tahun depan, semoga janji itu bisa terucap.


TUAN MONSTER BUAYA


23 april 2013
Dear diary.
Sepertinya hari ini Chiro marah padaku. Dia tidak mau menyapaku. Dia menghindariku. Dia duduk jauh dari aku. Aku sedih sekali.
Semoga suatu saat perasaan ini bisa tersampaikan padanya.
Aku menyukai Chiro

Kiku
Aku tutup buku diaryku. Aku kunci rapat-rapat. Aku letakkan diantara buku-buku dirak. Ditaruh di bagian yang paling dalam. Jangan sampai ada yang tahu. Aku berbalik menuju kasur empukku. Merebahkan badan yang seharian ini dibuat lelah oleh tingkahku sendiri. Aku memang sedikit hiperaktif di sekolah. Sama hiperaktifnya kalau itu berhubunngan  dengan Chiro.
Mataku menerawang kelangit-langit kamar. Terbayang wajah Chiro disana. Aku segera mengaburkan bayangan Chiro dari otakku. Tidak seharusnya aku melakukan hal konyol seperti ini. Mengkhayalkan Chiro. Kiku kamu harus fokus belajar. Jadi pembela kebenaran dan keadilan.
Aku masih saja kepikiran dengan kejadian tadi siang di sekolah. Chiro pasti marah sekali ya. Chiro pasti akan menghindariku. Ih, apaan sih, aku kan tidak melakukan hal yang merugikan dia. Menurutku sih begitu. Aku kan hanya membaca buku catatan pelajarannya saja. Itu kan bukan buku rahasia. Kecuali pas aku baca satu kalimat di balik sampul bukunya itu. Aku kan tidak sengaja.
Dan aku lelah sekali hari ini.
***
Aku sudah duduk rapi bersama Cika disamping kananku. Hari ini ada acara pertunjukan sulap. Entah bagaimana bisa ada pertunjukan sulap di sekolah. Yang pasti semua anak terlihat sangat antusias. Aku duduk di pinggir, sengaja agar mudah keluarnya. Tepat di depanku ada Shely dan anak-anak dari kelas lain yang tidak begitu aku kenal.
Chiro datang dari arah belakang. Kemudian dia duduk di samping Shely. Chiro tidak menyapaku. Dia hanya diam. Rasa-rasanya aku ingin sekali menyapanya. Tapi aku sedikit ragu. Kemarin Chiro memperlihatkan wajah kesalnya padaku bahkan setelah aku minta maaf. Mungkin saja hari ini dengan menyapanya, dia akan kembali tersenyum padaku seperti dulu.
Sebelum aku sempat ingin menyapa Chiro, dia beranjak dari kursinya. Menyadari kehadiranku. Mungkin masih marah. Aku beranikan diri untuk memanggilnya.
“Chiro.”
Chiro berbalik arah melihatku, dan hanya terdiam.
“Kamu masih marah sama aku?”
Chiro masih saja terdiam.
“Masih marah?” aku kembali bertanya,
Dan Chiro tetap diam.
“Chiro.” Aku memanggilnya kemudian terdiam saat Chiro hanya diam dan duduk di seberang barisan tempat aku duduk.
Dia pasti kesal sekali. Aku kan tidak menceritakan apa yang aku baca ke semua orang. Aku kan tidak sengaja. Dan itu kan karena Chiro bodoh yang menulis hal seperti itu di buku pelajarannya. Chiro yang salah. Aku membela diri. Aku juga merasa sedih sekali.
Pertunjukan sulap segera dimulai. Aku bahkan kesulitan melihat tukang sulapnya. Tiba-tiba saja aku ditarik ke depan. Di atas panggung ada seekor buaya mini. Astaga, buayanya bisa berdiri, seperti robot atau mainan anak-anak. Buaya itu memakan sesuatu, entah apa. Dan seketika muncul buaya kecil lagi di sampingnya. Ini bukan sulap macam trik-trik yang sering aku tonton di TV. Terlalu ajaib.
Chiro berdiri disampingku. Saat itu aku merasa ada yang salah dengan pertunjukan ini. Cika berlari kearahku dan berada dibelakangku.
“Kita harus lari.” Aku berteriak
            Belum sempat aku berlari, Chiro terkena semburan buaya kecil itu. Dan Foala.. chiro berubah jadi buaya yang besar.
            “Kita harus berubah, sailor venus.” Aku berteriak ke arah cika.
            Alhasil kami sudah berubah menjadi dua prajurit cantik pembela kebenaran dan keadilan. Sailormoon dan sailor V.
            “Lari!” kami berlari berlainan arah saat dua buaya kecil itu berlari ke arah kami.
            Chiro yang menjadi buaya mengamuk.
            “Apa aku harus mengeluarkan Tiara?” Batinku  sebagai sailormoon.
            “Gunakan Tiaramu.” Sailor V  berteriak ke arahku.
            Aku ancang-ancang mengeluarkan jurus andalan sailormoon. Berpose anggun sambil tanganku berada di kening. Aku mengejar Chiro si monster buaya.
            “Moon Tiara Action.” Aku arahkan tiara ke arah monster buaya.
***
Kringgggg.....kringgggg......kringggg.......
Aku raih jam weaker disampingku. Aku usap-usap mataku. Melihat ke arah jarum jam. Jam 6. Masih ada waktu untuk siap-siap ke sekolah. Aku merasa sudah melakukan petualangan yang aneh. Aku berpikir keras. Apa ya? Aku mimpi melawan monster buaya.
“Kenapa monsternya Chiro?” Aku masih belum paham.
Alam bawah sadarku terlalu terpengaruh dengan kejadian-kejadian yang menyangkut nama Chiro. Aku khawatir bahwa apa yang ada dalam mimpi itu akan jadi nyata. Pertanda buruk. Feeling-ku memang terkadang bisa mendekati benar.
Tanpa berlama-lama aku langsung berangkat sekolah setelah makan sepotong roti tawar keju buatan mama. Aku kayuh sepedaku. Memang jarang sekarang yang ke sekolah naik sepeda. Tapi karena sekolah lumayan dekat aku pake sepeda. Ini juga lebih sehat kan. Dan lagi, Chiro juga suka naik sepeda. Dua tahun ini, aku suka sekali mengkayuh sepedaku di belakang Chiro. Selalu saja begitu. Pagi ini juga. Chiro jauh didepanku. Aku kayuh lebih kencang lagi, menyisakan jarak 2 meter dengan sepeda Chiro.
“Tuan Monster Buaya. Tega sekali kau masuk dalam mimpiku.” Aku bergumam sepanjang jalan. Itu julukan baru untuk Chiro, gara- gara mimpi semalam. Itu cocok sekali kan, “Tuan Monster Buaya”. Kalau aku bisa tiara Chiro, mungkin aku pengen menyadarkan dia agar menyukaiku.
Saat asyik- asyiknya melamunkan mimpi semalam, aku tidak sengaja melaju di atas kubangan yang lumayan besar. Tidak sempat mengerem, tidak sempat mengelak. Segera aku tutup mataku dan berteriak. Setelah melewati kubangan itu, aku segera mengerem sepedaku. Berhenti di depan kubangan. Aku lihat Chiro ikut berhenti dan menoleh ke arahku.
“Kamu enggak apa- apa?” Chiro bertanya padaku.
“Enggak kok.” Aku tersenyum.
Chiro langsung mengkayuh sepedanya lagi. Beberapa meter lagi sampai gerbang sekolah. Aku juga kayuh lagi sepedaku. Mimpiku salah ternyata, Chiro malah yang bertanya duluan sama aku. Tapi dia masih bersikap dingin. Udara rasanya membeku, membuat aku juga ikut membeku di hadapan Chiro.
Setelah memakirkan sepeda, kami menuju kelas. Masih sama, aku berjalan di belakang Chiro. Setiap hari selalu begini. Kiku yang paling banyak bicara di kelas, langsung diam saat di dekat Chiro. Sesampainya di kelas aku menaruh tasku. Melihat ke arah bangku Chiro sebentar. Belum sempat duduk, aku ikut bergabung dengan anak- anak cewek yang ngobrol di depan kelas. Ritual harian kami sebelum jam masuk tiba. Heboh sendiri, membicarakan cowok taksiran masing-masing. Aku sih Cuma ikut hebohnya saja. Giliran ditanya siapa cowok taksiran, aku akan diam seribu bahasa atau mengalihkan pembicaraan ke hal  menarik lainnya. Tepatnya tidak menarik sama sekali.
***
Aku melihat Chiro sedang duduk di depan kelas sendirian. Tidak biasanya. Dia memegang buku tulisnya. Aku bahkan kemarin itu belum sempat membaca utuh tulisan di buku Chiro. Itu bukan tulisan, itu gambar. Gambar buatan Chiro bagus. Mungkin selama ini saat pelajaran dia selalu menggambar. Sama seperti yang aku lakukan. Bedanya gambar buatan Chiro bernilai seni tinggi sedangkan gambar aku tidak ada nilainya.
Aku berjalan menuju ke tempat Chiro sedang duduk. Pelan- pelan sekali. Pura- pura tidak terjadi apa-apa. Mengendap-endap. Aku berdiri sebentar di samping Chiro sambil mencoba melirik ke arah buku yang sedari tadi dibawa oleh Chiro. Dia sedang menggambar lagi rupanya. Aku duduk perlahan. Memainkan kakiku maju mundur seperti anak kecil. Sesekali melirik ke arah Chiro yang sedang serius.
Saat Chiro menyadari kehadiranku, dia langsung menutup bukunya cepat. Memandang ke arahku sebentar, bersiap untuk enyah dari sampingku.
“Chi....” Sebelum aku menyelesaikan panggilanku, Chiro menoleh ke arahku. Kemudian menyerahkan secarik kertas yang dia ambil diantara lembaran- lembaran bukunya.
“Ini kan, yang kemarin belum selesai kamu lihat.” Chiro menyerahkan selembar kertas penuh dengan coretan.
“Ini..” Aku bingung harus bilang apa. “Apa maksudnya?”
“Itu untuk kamu, Komodo penguntit.” Chiro bergegas pergi masuk ke dalam kelas.
Aku melihat kertas dari Chiro. Aku bahkan hampir lupa apa yang aku lihat kemarin. Hanya beberapa kata saja yang aku ingat. Dan hanya beberapa goresan gambar saja yang aku ingat. Ini gambar Komodo. Cantik dengan pita di kepalanya. Komodonya tersipu malu. Ada beberapa tulisan di bawah gambar Komodo kecil itu. Puisi. Yang sempat aku baca kemarin.
Komodo Penguntit
Dia selalu mengikutiku
Mungkin hanya perasaanku saja
Dia selalu di belakangku
Dia selalu memperhatikanku
Mungkin ini juga hanya perasaanku saja
Dia seperti predator yang siap menerkam mangsanya
Mengendap- endap di belakang
Kemudian muncul menyerang
Komodo penguntit
Selalu mengendap-endap di belakangku
Entah kapan dia akan menerkamku.
            Aku membaca puisi yang aneh ini. Tentu saja ini bukti bahwa Chiro bukan tipe cowok romantis yang pandai membuat puisi. Saranku, mungkin kamu spesialis aja di bidang visual jangan tulisan.
            “Komodo Penguntit?” Aku bergumam. “Eh? Maksudnya aku?” Aku menunjuk hidungku sendiri. “Komodo penguntit katanya. Apa tidak ada yang lebih bagus dari ini. Putri malu kek, Putri impian ato apalah. Tapi dia benar, liurku memang beracun.” Aku merasa sedikit kesal pada Chiro.
            Aku menggulung kertas dari Chiro. Senyum simpul menghiasi bibirku. Aku baru saja merasakan perasaan jengkel, senang, G.R, antusias campur aduk jadi satu. Selama ini Chiro menyadarinya. Aku selalu mengikutinya dari belakang. Saat naik sepeda ke sekolah. Saat parkir. Saat jalan menuju kelas. Pas ke kantin. Pas mau upacara. Dan ini tadi, pas duduk di depan kelas. Semakin aku memikirkannya, malah hal negatif yang muncul. Perkiraan- perkiraan yang membuat aku malah merasa bersalah. Jangan- jangan Chiro mau bilang “Jangan ikuti aku lagi”, tapi medianya kertas ini. Jadi Chiro sebenarnya membenciku. Jadi mimpiku semalam memang benar. Chiro membenciku. Intuisi 100% yang sering aku andalkan ini, kini tepat.
            Aku masuk kelas dengan pikiran negatifku. Untuk pikiran positifku entah kemana. Aku tidak bisa berpikir dengan baik. Yang ada sekarang hanya satu kalimat yang aku ingat-ingat terus “Chiro Membenciku”. Aku menatap ke arah Chiro dengan tatapan sedih. Setelah ini aku harus bagaimana.