23 april 2013
Dear diary.
Sepertinya hari ini
Chiro marah padaku. Dia tidak mau menyapaku. Dia menghindariku. Dia duduk jauh
dari aku. Aku sedih sekali.
Semoga suatu saat
perasaan ini bisa tersampaikan padanya.
Aku menyukai Chiro
Kiku
Aku tutup buku diaryku. Aku kunci rapat-rapat. Aku
letakkan diantara buku-buku dirak. Ditaruh di bagian yang paling dalam. Jangan
sampai ada yang tahu. Aku berbalik menuju kasur empukku. Merebahkan badan yang
seharian ini dibuat lelah oleh tingkahku sendiri. Aku memang sedikit hiperaktif
di sekolah. Sama hiperaktifnya kalau itu berhubunngan dengan Chiro.
Mataku menerawang kelangit-langit kamar. Terbayang
wajah Chiro disana. Aku segera mengaburkan bayangan Chiro dari otakku. Tidak
seharusnya aku melakukan hal konyol seperti ini. Mengkhayalkan Chiro. Kiku kamu
harus fokus belajar. Jadi pembela kebenaran dan keadilan.
Aku masih saja kepikiran dengan kejadian tadi siang
di sekolah. Chiro pasti marah sekali ya. Chiro pasti akan menghindariku. Ih,
apaan sih, aku kan tidak melakukan hal yang merugikan dia. Menurutku sih
begitu. Aku kan hanya membaca buku catatan pelajarannya saja. Itu kan bukan
buku rahasia. Kecuali pas aku baca satu kalimat di balik sampul bukunya itu.
Aku kan tidak sengaja.
Dan aku lelah sekali hari ini.
***
Aku sudah duduk rapi bersama Cika disamping kananku.
Hari ini ada acara pertunjukan sulap. Entah bagaimana bisa ada pertunjukan
sulap di sekolah. Yang pasti semua anak terlihat sangat antusias. Aku duduk di
pinggir, sengaja agar mudah keluarnya. Tepat di depanku ada Shely dan anak-anak
dari kelas lain yang tidak begitu aku kenal.
Chiro datang dari arah belakang. Kemudian dia duduk
di samping Shely. Chiro tidak menyapaku. Dia hanya diam. Rasa-rasanya aku ingin
sekali menyapanya. Tapi aku sedikit ragu. Kemarin Chiro memperlihatkan wajah
kesalnya padaku bahkan setelah aku minta maaf. Mungkin saja hari ini dengan
menyapanya, dia akan kembali tersenyum padaku seperti dulu.
Sebelum aku sempat ingin menyapa Chiro, dia beranjak
dari kursinya. Menyadari kehadiranku. Mungkin masih marah. Aku beranikan diri
untuk memanggilnya.
“Chiro.”
Chiro berbalik arah melihatku, dan hanya terdiam.
“Kamu masih marah sama aku?”
Chiro masih saja terdiam.
“Masih marah?” aku kembali bertanya,
Dan Chiro tetap diam.
“Chiro.” Aku memanggilnya kemudian terdiam saat Chiro
hanya diam dan duduk di seberang barisan tempat aku duduk.
Dia pasti kesal sekali. Aku kan tidak menceritakan
apa yang aku baca ke semua orang. Aku kan tidak sengaja. Dan itu kan karena
Chiro bodoh yang menulis hal seperti itu di buku pelajarannya. Chiro yang
salah. Aku membela diri. Aku juga merasa sedih sekali.
Pertunjukan sulap segera dimulai. Aku bahkan
kesulitan melihat tukang sulapnya. Tiba-tiba saja aku ditarik ke depan. Di atas
panggung ada seekor buaya mini. Astaga, buayanya bisa berdiri, seperti robot
atau mainan anak-anak. Buaya itu memakan sesuatu, entah apa. Dan seketika
muncul buaya kecil lagi di sampingnya. Ini bukan sulap macam trik-trik yang
sering aku tonton di TV. Terlalu ajaib.
Chiro berdiri disampingku. Saat itu aku merasa ada
yang salah dengan pertunjukan ini. Cika berlari kearahku dan berada
dibelakangku.
“Kita harus lari.” Aku berteriak
Belum
sempat aku berlari, Chiro terkena semburan buaya kecil itu. Dan Foala.. chiro
berubah jadi buaya yang besar.
“Kita
harus berubah, sailor venus.” Aku berteriak ke arah cika.
Alhasil
kami sudah berubah menjadi dua prajurit cantik pembela kebenaran dan keadilan.
Sailormoon dan sailor V.
“Lari!”
kami berlari berlainan arah saat dua buaya kecil itu berlari ke arah kami.
Chiro
yang menjadi buaya mengamuk.
“Apa
aku harus mengeluarkan Tiara?” Batinku sebagai
sailormoon.
“Gunakan
Tiaramu.” Sailor V berteriak ke arahku.
Aku
ancang-ancang mengeluarkan jurus andalan sailormoon. Berpose anggun sambil
tanganku berada di kening. Aku mengejar Chiro si monster buaya.
“Moon
Tiara Action.” Aku arahkan tiara ke arah monster buaya.
***
Kringgggg.....kringgggg......kringggg.......
Aku raih jam weaker disampingku. Aku usap-usap
mataku. Melihat ke arah jarum jam. Jam 6. Masih ada waktu untuk siap-siap ke
sekolah. Aku merasa sudah melakukan petualangan yang aneh. Aku berpikir keras.
Apa ya? Aku mimpi melawan monster buaya.
“Kenapa monsternya Chiro?” Aku masih belum paham.
Alam bawah sadarku terlalu terpengaruh dengan
kejadian-kejadian yang menyangkut nama Chiro. Aku khawatir bahwa apa yang ada
dalam mimpi itu akan jadi nyata. Pertanda buruk. Feeling-ku memang terkadang bisa mendekati benar.
Tanpa berlama-lama aku langsung berangkat sekolah
setelah makan sepotong roti tawar keju buatan mama. Aku kayuh sepedaku. Memang
jarang sekarang yang ke sekolah naik sepeda. Tapi karena sekolah lumayan dekat
aku pake sepeda. Ini juga lebih sehat kan. Dan lagi, Chiro juga suka naik
sepeda. Dua tahun ini, aku suka sekali mengkayuh sepedaku di belakang Chiro.
Selalu saja begitu. Pagi ini juga. Chiro jauh didepanku. Aku kayuh lebih
kencang lagi, menyisakan jarak 2 meter dengan sepeda Chiro.
“Tuan Monster Buaya. Tega sekali kau masuk dalam
mimpiku.” Aku bergumam sepanjang jalan. Itu julukan baru untuk Chiro, gara-
gara mimpi semalam. Itu cocok sekali kan, “Tuan Monster Buaya”. Kalau aku bisa
tiara Chiro, mungkin aku pengen menyadarkan dia agar menyukaiku.
Saat asyik- asyiknya melamunkan mimpi semalam, aku
tidak sengaja melaju di atas kubangan yang lumayan besar. Tidak sempat
mengerem, tidak sempat mengelak. Segera aku tutup mataku dan berteriak. Setelah
melewati kubangan itu, aku segera mengerem sepedaku. Berhenti di depan
kubangan. Aku lihat Chiro ikut berhenti dan menoleh ke arahku.
“Kamu enggak apa- apa?” Chiro bertanya padaku.
“Enggak kok.” Aku tersenyum.
Chiro langsung mengkayuh sepedanya lagi. Beberapa
meter lagi sampai gerbang sekolah. Aku juga kayuh lagi sepedaku. Mimpiku salah
ternyata, Chiro malah yang bertanya duluan sama aku. Tapi dia masih bersikap
dingin. Udara rasanya membeku, membuat aku juga ikut membeku di hadapan Chiro.
Setelah memakirkan sepeda, kami menuju kelas. Masih
sama, aku berjalan di belakang Chiro. Setiap hari selalu begini. Kiku yang
paling banyak bicara di kelas, langsung diam saat di dekat Chiro. Sesampainya
di kelas aku menaruh tasku. Melihat ke arah bangku Chiro sebentar. Belum sempat
duduk, aku ikut bergabung dengan anak- anak cewek yang ngobrol di depan kelas.
Ritual harian kami sebelum jam masuk tiba. Heboh sendiri, membicarakan cowok
taksiran masing-masing. Aku sih Cuma ikut hebohnya saja. Giliran ditanya siapa
cowok taksiran, aku akan diam seribu bahasa atau mengalihkan pembicaraan ke hal
menarik lainnya. Tepatnya tidak menarik
sama sekali.
***
Aku melihat Chiro sedang duduk di depan kelas
sendirian. Tidak biasanya. Dia memegang buku tulisnya. Aku bahkan kemarin itu
belum sempat membaca utuh tulisan di buku Chiro. Itu bukan tulisan, itu gambar.
Gambar buatan Chiro bagus. Mungkin selama ini saat pelajaran dia selalu
menggambar. Sama seperti yang aku lakukan. Bedanya gambar buatan Chiro bernilai
seni tinggi sedangkan gambar aku tidak ada nilainya.
Aku berjalan menuju ke tempat Chiro sedang duduk.
Pelan- pelan sekali. Pura- pura tidak terjadi apa-apa. Mengendap-endap. Aku
berdiri sebentar di samping Chiro sambil mencoba melirik ke arah buku yang
sedari tadi dibawa oleh Chiro. Dia sedang menggambar lagi rupanya. Aku duduk
perlahan. Memainkan kakiku maju mundur seperti anak kecil. Sesekali melirik ke
arah Chiro yang sedang serius.
Saat Chiro menyadari kehadiranku, dia langsung
menutup bukunya cepat. Memandang ke arahku sebentar, bersiap untuk enyah dari
sampingku.
“Chi....” Sebelum aku menyelesaikan panggilanku,
Chiro menoleh ke arahku. Kemudian menyerahkan secarik kertas yang dia ambil
diantara lembaran- lembaran bukunya.
“Ini kan, yang kemarin belum selesai kamu lihat.”
Chiro menyerahkan selembar kertas penuh dengan coretan.
“Ini..” Aku bingung harus bilang apa. “Apa
maksudnya?”
“Itu untuk kamu, Komodo penguntit.” Chiro bergegas
pergi masuk ke dalam kelas.
Aku melihat kertas dari Chiro. Aku bahkan hampir
lupa apa yang aku lihat kemarin. Hanya beberapa kata saja yang aku ingat. Dan
hanya beberapa goresan gambar saja yang aku ingat. Ini gambar Komodo. Cantik
dengan pita di kepalanya. Komodonya tersipu malu. Ada beberapa tulisan di bawah
gambar Komodo kecil itu. Puisi. Yang sempat aku baca kemarin.
Komodo
Penguntit
Dia
selalu mengikutiku
Mungkin
hanya perasaanku saja
Dia
selalu di belakangku
Dia
selalu memperhatikanku
Mungkin
ini juga hanya perasaanku saja
Dia
seperti predator yang siap menerkam mangsanya
Mengendap-
endap di belakang
Kemudian
muncul menyerang
Komodo
penguntit
Selalu
mengendap-endap di belakangku
Entah
kapan dia akan menerkamku.
Aku
membaca puisi yang aneh ini. Tentu saja ini bukti bahwa Chiro bukan tipe cowok
romantis yang pandai membuat puisi. Saranku, mungkin kamu spesialis aja di
bidang visual jangan tulisan.
“Komodo
Penguntit?” Aku bergumam. “Eh? Maksudnya aku?” Aku menunjuk hidungku sendiri.
“Komodo penguntit katanya. Apa tidak ada yang lebih bagus dari ini. Putri malu
kek, Putri impian ato apalah. Tapi dia benar, liurku memang beracun.” Aku
merasa sedikit kesal pada Chiro.
Aku
menggulung kertas dari Chiro. Senyum simpul menghiasi bibirku. Aku baru saja
merasakan perasaan jengkel, senang, G.R, antusias campur aduk jadi satu. Selama
ini Chiro menyadarinya. Aku selalu mengikutinya dari belakang. Saat naik sepeda
ke sekolah. Saat parkir. Saat jalan menuju kelas. Pas ke kantin. Pas mau
upacara. Dan ini tadi, pas duduk di depan kelas. Semakin aku memikirkannya,
malah hal negatif yang muncul. Perkiraan- perkiraan yang membuat aku malah
merasa bersalah. Jangan- jangan Chiro mau bilang “Jangan ikuti aku lagi”, tapi
medianya kertas ini. Jadi Chiro sebenarnya membenciku. Jadi mimpiku semalam
memang benar. Chiro membenciku. Intuisi 100% yang sering aku andalkan ini, kini
tepat.
Aku
masuk kelas dengan pikiran negatifku. Untuk pikiran positifku entah kemana. Aku
tidak bisa berpikir dengan baik. Yang ada sekarang hanya satu kalimat yang aku
ingat-ingat terus “Chiro Membenciku”. Aku menatap ke arah Chiro dengan tatapan
sedih. Setelah ini aku harus bagaimana.