RSS

Minggu, 24 November 2013

KINKIN DAN MUSIM HUJAN


“Kin, seharian ini cemberut aja sih kamu.”
“Tuh liat, mendung.” Kinkin menunjuk langit hitam.
Musim hujan tahun ini sama. Membawa kebahagiaan bagi para petani. Tanaman padi menghijau dan siap panen tiap tahunnya. Air melimpah, tak ada ribut-ribut kekeringan lagi, yang ada banjir dimana-mana. Jelas keributannya lain lagi. Sama halnya dengan Kinkin, dia membenci musim hujan. Alasannya klise, basah tiap hari, cucian numpuk, pake mantel ribet tiap hari, dan satu hal lagi kamarnya bocor.

Hujan lebat sudah mengguyur kota sedari pagi. Membuat Kinkin dan mahasiswa lainnya enggan pergi kekampus. Hujan dari langit itu pasti akan menghapus dandanan rapi mereka. Kinkin bermalas-malasan, terhuyung masuk kamar mandi.
“Ntar sampai kampus juga basah lagi. Ih.. bisa ga sih tahun ini hujannya sebulan aja.” Kinkin menggerutu sambil masuk kamar mandi.

Titik-titik hujan sudah mulai mereda, tapi ya, masih saja bisa membasahi apapun yang berada diluar. Kinkin memakai mantelnya, memasukkan sepatunya ke dalam tas kresek hitam. Kostum ribetnya sudah terpasang rapi. Kinkin mengeluarkan motornya. Menerjang hujan pagi ini dengan terpaksa.
Banyak orang terpaksa di musim hujan ini. Kalau bisa sih semuanya punya mobil, jadi aman di jalan, aman dari rintik hujan. Pada kenyataannya mereka terpaksa berhujan-hujan ria. Ada yang menyambut bahagia tapi kalau orang seperti Kinkin, pasti hanya akan membuat gerutuan yang tak pernah berhenti sepanjang hari.

Kinkin masuk kelas dengan keadaan yang bisa dibilang tidak nyaman. Kedinginan, basah, padahal sudah memakai mantel. Beberapa anak lain juga sama dengan Kinkin, bahkan ada yang seperti habis nyemplung kolam, gara-gara malas pake mantel.
“Kog elu bisa kering kayak gitu sih, Mel?” Kinkin menghampiri Mela dan duduk disebelahnya.
Mela tersenyum sombong. “Iya dong, Gue kan dianterin Roni pake mobilnya. Ahahaha.”
“Ih, beruntung banget sih lu.” Kinkin merasa iri.
“Udah Kin, elu yang sabar aja ya?” Mela mencoba membesarkan hati Kinkin sambil menepuk-nepuk bahunya.
Kinkin memandang Mela dengan wajah cemberutnya, merasa tak adil.
Kuliah akhirnya ditemani dengan basah-basahan dan dingin-dinginan yang tidak nyaman. AC-nya juga tidak dimatikan, berhembus kencang menambah dingin.

“Aarrrgghhh, bisa ga sih, ga usah ada musim hujan aja.” Kinkin mulai mengeluh lagi, sambil menyendok makan siangnya.
“Ya ampun, Kin. Kamu dari tahun ke tahun ga pernah ganti topik ya? Keluhannya sama, ga kreatif lu. Elu tuh harus bersyukur kali. Hujan itu berkah. Dan doa elu itu ga bisa ngalahin doa para petani yang udah ngarepin hujan.” Mela berlagak sok Bijak.
“Gue ga suka hujan, Mel. Kamar gue bocor, basah semuanya. Dan gue ga suka.” Kinkin masih mengeluh.
“Jadi, alasannya cuma itu aja? Kinkin, itu kan tinggal dibenerin aja. Ya ampun ni anak bener-bener dah.”
“Ga semudah itu, Mel.”
Hujan masih menemani suasana kantin yang semakin memadat mendekati jam makan siang. Payung berjajar rapi. Basah dimana-mana. Becek. Membuat orang betah berlama-lama di kantin berharap beberapa menit lagi mungkin hujan reda. Kinkin dan Mela sengaja berlama-lama, sengaja menunggu hujan reda. Tapi hujan enggan untuk berhenti.

Suara rintik hujan mendamaikan. Saat tetes airnya menyentuh tanah, menyeruak bau tanah yang menenangkan. Sungai-sungai mati tiba-tiba hidup kembali, memainkan irama gemericik air yang terdengar menyegarkan. Pohon-pohon yang meranggas kembali bertunas dan menghijau. Katak-katak yang berhibernasi bersuka cita bernyanyi setiap hari. Pohon-pohon layu bangkit lagi untuk meneruskan hidupnya.
Kinkin merindukan suara sungai kecil disamping rumahnya, Kinkin merindukan hijaunya pepohonan di sekitar rumahnya. Itulah perasaan Kinkin kecil.
Hujan selalu menjadi romantisme tersendiri bagi beberapa orang. Di novel, di sinetron, di film-film layar lebar, mereka menggambarkan hujan adalah moment berharga bagi pasangan kekasih. Menangis tersedu dibawah rintikan hujan, menari-nari dibawah rintikan hujan. Semuanya tidak pernah seromantis itu menurut Kinkin saat ini. Kinkin lupa akan kerinduannya dengan musim hujan di masa kecilnya.

Bertahun-tahun Kinkin terkungkung pada perasaan bencinya pada hujan. Sampai akhirnya dia bertemu Aldi. Penyanyi indie yang menciptakan lagu yang kebanyakan bertema hujan. Kinkin menemukan romantisme hujan itu. Berhari-hari Kinkin selalu mendengarkan lagu-lagu yang dibawakan Aldi.
“Udah denger lagu baru Gue?” Aldi bertanya pada Kinkin
Kinkin mengangguk. “Iya.”
“Suka?” Aldi bertanya lagi.
“Iya.” Kinkin mengangguk lagi tanpa berkomentar penjang lebar.
Sore itu hujan gerimis turun, matahari bersinar, membuat pola pelangi terlihat dari kejauhan. Kinkin dan Aldi duduk berdua di Cafe. Mereka terdiam menikmati pemandangan merah kuning hijau di langit.
“Ini alasan kenapa gue suka banget sama hujan.” Aldi berkata sambil masih melihat pelangi. “Gue suka liat pelangi.”
Kinkin masih terdiam, kalau melihat pelangi sih Kinkin juga suka. Pemandangan langka. Tapi kan tidak setiap hujan pasti muncul pelangi.
“Tapi kan, ga setiap hujan muncul pelangi.” Kinkin memandang Aldi.
“Iya sih, tapi rintik hujan itu juga mengalun indah seperti nyanyian. Gue juga suka dengernya.”
“Tapi kalau rumah lu bocor, kan ga bisa menikmati rintik hujan dengan tenang.”
Aldi menatap Kinkin heran. “Elu kok mikirnya gitu sih, Kin. Lucu tau.” Aldi seketika tertawa.
Kinkin cemberut. Ini masalah kamar Kinkin yang bocor jadi dia tidak bisa menikmati rintik hujan dengan tenang.
“Pernah ga, elu mencoba benar-benar menikmati hujan?” Aldi bertanya pada Kinkin.
Kinkin menggeleng.
“Sekarang pejamkan mata lu, resapi tenangnya rintik hujan.” Aldi menutup matanya.
Kinkin merasa aneh dengan sikap Aldi. Ada gitu laki-laki seperti ini. Kinkin masih melihat Aldi yang menutup matanya. Perlahan Kinkin mulai mengikuti Aldi menutup mata.
Suara hujan saat kita terpejam memang beda. Terdengar damai, nyanyian yang sangat merdu. Kinkin merasakan suara rintik yang jatuh menyentuh dedaunan, tanah dan atap cafe. Terdengar lamat-lamat suara nyanyian Aldi menambah teduh sore itu. Kinkin mulai menikmatinya. Beberapa saat kemudian Kinkin membuka matanya. Dihadapannya sudah ada Aldi yang tersenyum melihat Kinkin.
“Bagus kan? Apa lagi ditambah lagu itu.” Aldi menunjuk speaker diatas mereka yang dari tadi melantunkan lagu-lagu Musim Hujan, band indie yang divokali Aldi.
Kinkin tersenyum. “Lumayan bisa mempengaruhi gue, lu.” Mereka berdua tertawa bersama sambil menikmati hujan di sore itu.

Setiap hari Kinkin mendengarkan lagu-lagu Musim Hujan. Di kampus dia memamerkannya pada Mela. Tapi Mela tidak terlalu menikmati lagunya, bukan tipe penyuka band indie. Mela suka karena lagu-lagu itu bisa membuat Kinkin berhenti mengeluhkan tentang musim hujan yang menjandi ritunitas setiap tahunnnya. Mela malah menggoda Kinkin menyebut-nyebut nama Aldi disetiap pembicaraan.
“Mel. Udah deh, Aldi itu Cuma temen gue, ga lebih dan ga kurang. Udah ah. Ganti topik.”
“Elu jangan bohong ama gue deh, Kin. Elu pasti suka Aldi kan? Buktinya sekarang elu ga pernah lagi ngeluh soal hujan semenjak ketemu Aldi. Iya kan? Suka kan?” Mela ngotot bertanya sampai Kinkin bilang kalau dia suka Aldi.
“ENGGAK SUKA, Mel.” Kinkin menekankan kalimatnya.
“Ah, pasti cuma belum aja kan?” Mela masih ngotot.
“Ehm.... Bisa jadi.” Kinkin tersenyum sambil berjalan meninggalkan Mela.
“Eh, tunggu dong, Kin.” Mela berlari ke arah Kinkin.
Dua sahabat itu berjalan dikoridor kampus, bercanda ditemani suara gemericik hujan yang turun sedari tadi pagi. Hujan mereda namun tetap menetes rintik-rintik, sinar matahari memberi kehangatan dihiasi pelangi yang melengkung indah dilangit. Kinkin sudah berhenti mngeluhkan hujan yang akan berlangsung beberapa bulan lagi. Kamarny tetap masih bocor, tapi setidaknya dia tidak terlalu mempermasalahkan itu lagi. Mungkin dia sudah bisa menikmati suara hujan yang turun menembus genteng kamarnya yang bocor. Karena hujan adalah awal kehidupan semuanya. 




0 komentar:

Posting Komentar